Telah datang dari Syaikh Bukhari, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu tentang larangan bernadzar. Dalam Shahih Muslim dari jalan Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah mengatakan karena nadzar itu tidak mendatangkan kebajikan. Lalu dikatakan juga bahwa nazar itu sekira-kira makruh (=dibenci) menurut pendapat dari kalangan para ‘ulama muqaddimin, baik dari kalangan madzhab yang empat, sebagaimana yang dijelaskan Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Kitab Tahdzir Sajid beliau dalam pembahasan yang lalu, bahwa artinya sama dengan tahrif, yaitu haram.
Dalam footnote 251 kitab ini, dikatakan Syaikh Shiddiq HasanKhan, bahwa nazar terbagi 2, yakni:
1. Nazar Mustahab (yang disunnahkan)
Yaitu nazar yang dikerjakan karena mengandung kebajikan dan keta’atan, artinya seorang muslim bernazar untuk melaksanakan suatu keta’atan karena Allah tanpa ada ikatan/ketergantungan keta’atannya tersebut dengan suatu keadaan/perintah yang disempurnakan dengan perintah tersebut, tanpa imbalan, namun dilaksanakan secara spontan tanpa sebab dan akibat. Hal inilah yang diinginkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti yang dikatakan-Nya dalam Surat Al-Insan ayat 7 :
“Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata dimana-mana”.
Telah dikeluarkan dari Imam Thabari dalam tafsirnya dengan sanadnya yang shahih dari Imam Qatadah, halaman 159 kata-kata “yufuna… dst-nya” maksudnya adalah para sahabat nabi bernazar untuk mentaati Allah dalam bentuk shalat, puasa, zakat, haji dan umrah, dan atas apa-apa yang diwajibkan atas mereka dan lain sebagainya. Maka mereka dinamakan Allah orang-orang yang baik dan shalih disisi Allah Jalla wa ‘Ala. Maka sangat jelas pujian ini ditempatkan bagi orang yang bernazar bukan karena nazar mujazat (kareana minta balasan).
2. Nazar Mujazat atau Mu-awwadha (minta imbalan atau ganti)
Yaitu seoang muslim bernazar dg melakukan keta’tan kepada Allah tetapi diikatkan/digantungkan dengan sesuatu yang ada hasil/balasannya. Misalnya perkataan : “Kalau seandainya sakit saya disembuhkan Allah, maka saya akan bersedekah”, atau “Kalau si Fulan datang dengan keadaan begini, maka saya akan begini”, maka ini disebut nazar yang mujazat.
Syaikh Hasan Khan, dijelaskannya larangan tentang nazar diatas, adalah karena nazar ini tidak akan menolak sesuatu, akan tetapi nazar yang demikian itu tidak akan keluar kecuali dari orang-orang yang bakhil.
Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan (Syaikh Al-Albani menyebutkan dalam ash-Shahihah Hadits No. 478, dan 749. Allah berkata dalam Hadits Qudsi : “Tidak datang nazar itu atas anak cucu adam dengan sesuatu yang belum saya takdirkan, dengan arti lain, nazar itu tidak akan merubah qadha dan qadhar Allah, seperti hadits Rasulullah, “Karena sesungguhnya nazar itu tidak menolak qadha & qadhar Allah kepada siapapun sedikitpun, tidak didahulukannya atau diakhirkan karenanya tetapi nazar itu keluar dari orang yang bakhil”. Ia datang kecuali dari orang yang bakhil karena ingin mendapatkan balasan.
Hadits yang kedua adalah, “Nazar itu ada 2, apabila nazar itu benar untuk Allah, maka kafarahnya wajib ditunaikan, tapi jika nazar itu untuk syaithan, seperti mengandung kesyirikan, bid’ah dan sebagainya, maka tidak boleh dikerjakan dan diwajibkan atasnya kafaratul yamin, dijelaskan oleh Syaikh Salim Al-Hilali dalam kitab beliau Bahjah.
Dalam riwayat lain, disebutkan, “Apa-apa yang tidak pernah mendatangi saya sebelumnya, kata Rasulullah dari lafaz yang lain, jangan kamu bernazar, karena sesungguhnya nazar itu tidak akan mempengaruhi qadha dan qadhar Allah sedikitpun, dan sesungguhnya nazar itu tidak akan keluar kecuali dari orang yang bakhil.
Fiqh hadits diatas, dijelaskan oleh Syaikh Al-Albani, bahwa hadits ini menunjukkan, dari seluruh lafaz yang ada, bahwa nazar itu sebaiknya tidak dilakukan bahkan hukum asalnya adalah makruh, kecuali yang tidak ada imbalannya. Secara zhahir dari hadits yang shahih, bahwa hukumnya sampai kepada haram.
Berkata sebagian para ‘ulama tentang perkataan Allah : “Tidaklah nazar itu keluar kecuali dari orang yang bakhil. Hal ini dijelaskan kepada kita, bahwa dibencinya nazar tersebut atau diharamkannya, itu khusus kepada nazar yang mujazat/muawwadha, dan tidak termasuk nazar yang spontan, mustahab. Karena nazar tersebut merupakan pendekatan diri kepada Allah dengan kesungguhan, karena orang bernazar demikian hanya karena imbalan dan balasan atas kewajiban yang ia tunaikan dan diatas balasan sunnah.
Dan berkata Imam Al-Qurthubi dalam kitabnya Al-Mufhim, ketika menjelaskan tujuan larangan bernazar yang mujazat, “Larangan ini misalnya seseorang mengatakan jka saya sembuh, maka saya akan bersedekah. Adapun sisi dibencinya adalah pada saat ia melaksanakan nazarnya itu (keta’atan) namun ia ingin mendapatkan suatu tujuan dengan hasil perkataanya itu, berarti ia belum mengikhlashkan perbuatan keta’atannya itu, bahkan ia menempuh cara yang disebabkan jika ada balasannya. Lebih jelas lagi jika ia tidak sembuh, ia tidak bersedekah, padahal itu qadha dan qadhar Allah, namun ia ingin Allah akan merubah qadha dan qadhar-Nya. Seperti inilah keadaan orang yang bakhil, karena sesungguhnya orang yang bakhil tidak akan mengeluarkan hartanya kecuali ia ingin dapat ganti yang lebih cepat dan bertambah dari apa yang ia keluarkan sebelumnya. Inilah makna yang dikatakan pada hadits Rasulullah dan diisyaratkan dalam hadits tersebut, “Tidak keluar dari orang yang bakhil apa-apa dimana orang bakhil itu tidak mengeluarkannya.
Disandarkan juga pada hal ini adalah i’tikad orang bodoh dan jahil dimana ia menyangka dengan nazar tersebut cita-citanya pasti berhasil, makanya ia bernazar, atau ia yakin Allah akan pasti menunaikan apa yang ia inginkan disebabkan ia nazar tersebut. Dan kepada i’tikad yg ke-2 ini, bahwa nazar tidak akan menolak sedikitpun atas qadha dan qadhar Allah. Hal yang pertama bahwa dengan bernazar ia pasti berhasil, maka i’tikad ini bisa mendekatkannya kepada kekufuran. Yang ke-2 tadi , yakni dengan melakukan nazar, Allah akan menunaikan permintaannnya. Imam Qurthubi mengatakan : “Ini kesalahan besar, bahkan ini akan dekat kepada kekufuran. Imam Qurthubi menukil dari ‘ulama, yang shahih adalah larangan hadits tadi adalah atas haramnya nazar tersebut terhadap orang yang khawatir jatuh kepada i’tikad yang bathil tersebut, ini sangat baik. Kalau ia tetap kerjakan, maka itu dekat kepada keharaman, dan dibenci bagi orang yang tidak beri’tikad demikian sama sekali.
Contoh, dari kisah Ibnu Umar, dari hadits diatas, ada kejadian tentang nazar yang dilarang ini. Imam Ibn Hajar mengatakan, yang dimaksud Imam Al-Hakim, dalam kitabnya Mustadrak halaman 304 dari Falih ibnu ‘Umar, ia pernah ditanya oleh Mas’ud ibnu ‘Amar, “Ya Aba Abdurrahman, sesungguhnya anak saya ada di Parsi dan telah tinggal disana, disana ada ‘Umar ibnu ‘Ubaidillah, dan disana saat ini terjadi penyakit tha’un (sejenis penyakit yang biasanya tumbuh diketiak, dan sekelilingnya sangat hitam, panas, sampai-sampai panasnya ke hati) yang dahsyat. Tatkala berita itu sampai kepada saya, saya bernazar, ‘Kalau seandainya Allah menyampaikan anak saya ke Madinah dengan selamat (tanpa tha’un), maka saya akan berjalan ke Mekkah (Baitul Haram) dengan berjalan kaki’. Rupanya anaknya datang dalam keadaan sakit dan akhirnya mati. “Bagaimana ya ibnu ‘Umar?”. Ibnu ‘Umar berkata : “Bukankah Rasulullah berkata : “Sesungguhnya nazar itu tidak akan meng-awalkan dan tidak pula mengakhirkan sesuatu. Sesunguhnya tidaklah nazar tersebut keluar dari orsng yang bakhil, tetapi dalam hal ini kamu tetap tunaikan nazar tersebut”.
Adapun pengertian kafaratul yamin, seperti yg dijelaskan dalam hadits ke-2 diatas adalah denda bagi orang melaksanakan nazar untuk syaithan, yaitu syirik, bid’ah, dls-nya. Kafarah tersebut ada 4 macam yaitu seperti disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 89, dan termasuk sumpah yang ia langgar sendiri, maka ia juga wajib membayarnya dg kafarah, yaitu :
1. Memberi makan 10 orang miskin dg makanan yg biasa ia beri kpd anak isterinya
2. atau Memberi pakaian kepada 10 orang diatas,
3. atau Memerdekakan seorang budak. Ingat! Budak tetap ada selagi ada jihad yang syar’I, yang dibawa benderanya oleh imam yang merupakan imam didunia ini maka tawanan org kafir twersebut sah hukumnya budak, dijelaskan oleh Kitab Bahjatun Nazhirin oleh Syaikh Salim Al-Hilali.
4. Berpuasa selama 3 hari berturut-turut.
Bentuk kafarah ini kata Syaikh Salim Al-Hilali ada 2 yaitu :
1. Takhyir (memilih).
Yaitu dapat dilakukan dengan cara memilih diantara yang 3 point pertama. Boleh ia pilih yang paling ringan baginya. Jika tidak mampu ketiga point diatas, maka disebut
2. Tartib (beraturan), yaitu dilakukannya kafarah yang ke-4, yaitu puasa 3 hari berturut-turut.
Syaikh Albani berkata : “Rasulullah menjelaskan dalam kitab dalam berbagai lafazh hadits, salah satunya dalam kitab As-Silsilah Ash-Shahihah No.2859 : “Tidaklah kafarah itu dicari semata-mata karena wajah Allah”, dan dalam hadits lain disebutkan : “Sesungguhnya nazar itu sumpah, maka kafarahnya adalah kafarah yamin”.
Termasuk nazar kepada para wali, kepada kubur yang diagungkan, tempat-tempat yang dikeramatkan, dan tempat peribadatan yang lain.
Jadi kesimpulannya adalah nazar yg mustajab, yakni wajib dilakukan kafarah baginya, dan ditunaikan nazarnya…Wallahu Ta’la A’lam…
Hari : Rabu, 26 Mei 2004
Kategori : Fiqih
Kitab : Fathu Ats-Tsamar fi Bayani Aqidati Ahlul Atsar, Syaikh Muhammad Shiddiq Hasan Khan Al-Qunudi (murid dari murid Imam Asy-Syaukani), halaman 119 dan Silsilah Hadits Ash-Shahihah Hadits, Jilid I, VI dan VII.
Penerjemah : Ust. Abul Mundzir, Lc.